Film “Arisan”

Film

Film yang disutradarai Nia Di Nata ini, dengan blak-blakkan mempertontonkan kehidupan kosmopolitan Jakarta. Bahkan film ini memperlihatkan dengan jelas adegan ciuman antara laki-laki dan laki-laki. Di samping itu, film ini juga menampilkan Ibu-ibu rumah tangga yang mencari laki-laki lain untuk melampiaskan masalah keluarga dan kehidupan mereka, baik itu melalui hubungan seks maupun dengan memamerkan kekayaan dan status sosial.

Interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam film ini, sebagian besar dilandaskan pada ketertarikan seksual dan memamerkan status. Ada keinginan untuk memenuhi hasrat dan dorongan nafsu untuk melakukan hubungan seks. Kebersamaan antara pria dan wanita terjalin berkat ketertarikan secara seksual atau kedudukan. Tampaknya tidak ada persahabatan yang betul-betul dilandasi oleh persahatabatan sejati. Meskipun ada hanya tampaknya hanya Sakti dan Meimei.

Film Arisan ini juga menjadi ajang berkumpul dan memperlihatkan kemapanan hidup keluarga-keluarga elit di Jakarta. Padahal di balik itu semua, mereka mempunyai masalah-masalah pribadi yang berusaha mereka tutupi. Misalnya apa yang terjadi pada pemeran utama yaitu, Sakti (Tora Sudiro) dari keluarga Batak, yang merupakan seorang gay. Ia berusaha menutupi keadaan dirinya karena malu. Apa kata orang tua, kalau diketahui bahwa ia seorang gay, padahal dalam keluarga Batak, anak laki-laki itu adalah harapan keluarga yang akan meneruskan marga. Pemeran lain adalah, Andien (Aida Nurmala) yang berusaha membalas dendam terhadap suaminya yang selingkuh dengan wanita lain, meskipun telah diakui secara jujur dan berjanji tidak akan mengulang lagi. Meimei (Cut Mini Theo) sahabat Sakti yang paling dekat, berusaha keras untuk memenuhi obsesinya yaitu memiliki anak. Baginya jika ia memiliki anak, suaminya yang pengacara itu akan kembali mencintai dia seperti dulu lagi.

Film yang memenangkan penghargaan “Terbaik Festival Film Indonesia 2004” ini juga mengisahkan bagaimana sikap orang tua Sakti saat mengetahui bahwa anak merka satu satu nya, yang di keluarga Batak tentunya sangat di butuhkan untuk meneruskan Marga.
Film ini memperlihatkan dengan jelas adegan ciuman antara Tora Sudiro sebagai Sakti dan juga Surya Saputra sebagai Nino, sungguh berani aktor aktor itu. Manusia tak ada yang sempurna, kira-kira itulah yang dapat kita lihat film ini. Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kita menjadi lebih bijak dalam menjalani semua kehendak Tuhan , untuk menjadi lebih baik, dalam memandang dan menyikapi segalah hal serta menjadi ” be yourself.

Film yang bagus, dan sangat indah di tonton, sangat menyentuh hati untuk para gay yang menontonya apalagi saat adegan pertama kali Sakti bertemu Nino serta disaat Nino ulang tahun, serta kecemburuan yang ada di hati Sakti ketika dia melihat Meimei jatuh hati ke Nino.

Film yang berdurasi 129 menit ini, juga menggambarakan kehidupan gay yang diperankan oleh Sakti, meskipun ia seorang gay, tetapi ia sebenarnya berusaha untuk hidup secara normal, karena itulah ia selalu kesal melihat realitas hidupnya yang adalah gay. Hal ini tampak saat mengunjungi psikaternya, Sakti sedikit marah dengan psikiternya karena setelah 7 kali pertemuan masih belum ada perubahan. Sakti mengeluhkan soal perasaannya yang sering saja masih tetab tertarik pada laki-laki. Sakti juga bercerita kalau dia sering berdegup kencang bila bertemu seorang laki-laki kekar di tempat fitnes.

Dapat dikatakan bahwa film yang dirilis pada tahun 2003 ini adalah representasi kehidupan real di kota-kota besar, khususnya di Indonesia yang selama ini tak pernah diekspos ataupun diperhatikan secara serius. Interaksi antara aktor dalam film itu adalah gambaran yang tak jauh berbeda dengan kehidupan sekarang ini. Mungkin hal itu-lah yang menjadi kekhasan film ini. Sutradaranya tidak segan-segan memgangkat isu-isu yang realistis dan apa adanya. Artinya tidak menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya.

Wilhelmus Famati Hia

Tinggalkan komentar